Januari, bulan yang penuh keromantisan dan keagungan. Di bulan ini, ku mengukir kenangan di Pulau Sumatera Timur. Tahukah kamu dimana Sumatera Timur? Ya, itu adalah sebutan unik yang diberikan bapak RT di desa kami, Desa Warengkris, Raja Ampat, Papua Barat. Tak ada rasa lain selain bersyukur dan terpukau, menyaksikan suguhan alam yang masih terjaga keasriannya. Apa yang pertama terbesit dariku? Syukur. Aku bersyukur atas kesempatan kedua yang telah diberikan oleh-Nya. Bagaimana tidak, bulan Oktober lalu, diriku diberikan sebuah nikmat. Aku mengalami sebuah kecelakaan. Sebuah kesempatan kedua diberikan olehNya. Banyak hal yang bagiku tidak masuk akal terjadi. Begitu pula dengan semua alur untuk dapat berlayar ke Pulau Papua.
Pada awalnya, saya termasuk salah satu peserta yang mengundurkan diri. Ya, saat itu merupakan masa-masa dimana aku masih dalam tahap pemulihan. Sungguh jika membayangkan harus berlayar selama kurang lebih 8 hari, rasanya tak sanggup tubuh ini bertahan. Pikiran berkecamuk, membayangkan berbagai kejadian buruk yang mungkin terjadi. Namun, Tuhan berkata lain. Tetiba, hati ini merasa yakin, bahwa tak akan ada hal buruk yang terjadi. Akhirnya ku putuskan bergabung kembali. Menjelang keberangkatan, segala persiapan ku persiapkan sendiri. Ku yakinkan hati ini, bahwa Tuhan selalu ada di sisi. Ku yakinkan diri, bahwa diri ini kuat dan mampu. Jika bukan sekarang, lalu kapan lagi?
Hari keberangkatan mulai tiba, kami bertujuh yang semuanya perempuan, berangkat ke Surabaya menggunakan kereta api. Kami yang semula belum mengenal satu sama lain, kini mulai akrab. Berkenalan, berfoto bersama, hingga saling menjaga satu sama lain kami lakukan. Tibalah kami disalah satu stasiun di Surabaya. Inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Surabaya.
Kami lanjutkan perjalanan kami menuju ke pelabuhan Tanjung Perak. Hal yang paling menakutkan adalah saat-saat memasuki kapal, sungguh berdesakan. Tak henti rasa khawatir menghampiriku. Namun ku yakin, Tuhan menjagaku. Sesampainya dikapal banyak hal yang mengejutkan. Bocah 20 tahun ini baru pertama kali menaiki kapal besar dengan tujuan pulau nan jauh. Mulai dari tempat tidurnya, kamar mandi yang mengajak kita selalu bergoyang, hingga makanan kapal yang terdiri dari nasi rasa kecoa berwarna langka nan coklat dengan menu sayur kol, telur dan ikan pindang. Disini, ku diajarkan tentang kesederhanaan dan perjuangan. Perjuangan untuk mengantri makan, melewati lorong kamar dek 4 yang aromanya ‘nikmat’. Perjuangan mengantri kamar mandi yang bau. Perjuangan tidur normal ketika banyak mata memandang. Termasuk perjuangan dalam mencuci baju dikapal dan membawanya dari dek 5 ke dek 7 untuk dijemur. Hendak bagaimana lagi. Inilah kehidupan di kapal. Pintar-pintar kita menjaga dan membawa diri. Namun, tak semua hal yang ada dikapal itu buruk. Ada satu tempat yang menjadi favorit, yaitu Musholla.
Disinilah diri ini dapat fokus mendekatkan diri. Terlebih, selalu ada kajian selepas sholat dari seorang ustadz yang berasal dari Afrika. Aku bersyukur karena selama perjalanan tetap melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Hari demi hari berlalu. Tibalah kami di pelabuhan rakyat, di Sorong.
Ponselku berbunyi, bertuliskan “Ibuku sayang” sedang memanggil. Saat ku jawab, pecah suara tangis ibu dan adikku. Ah, rasanya terharu. Senang sekali rasanya masih memiliki orang-orang terkasih yang khawatir dan menanyakan kabarku. Senang bisa mengabari mereka bahwa aku baik-baik saja. Tak lama kemudian, kami pun masuk ke kapal dan bermalam disana.
Keesokan harinya, kami tiba di pelabuhan rakyat di Waisai. Mulailah terlihat hutan-hutan khas pulau itu. Asri dan sangat rimbun. Menyimpan kesunyian dan kekayaan alam yang tetap terjaga. Sepanjang perjalanan membelah hutan, aku terpukau. Tak percaya rasanya diri ini benar-benar sampai di tanah Papua. Aku bertemu dengan anak-anak yang berjalan bersama sepulang sekolah. Mereka meneriaki kami sebagai tanda senang akan kedatangan kami. Alam pun menyambut kami dengan teriknya matahari, tanda ridho dari Ilahi.
Warengkris, Teluk Mayalibit, terpampang tulisan itu di sebuah masjid di pemukiman warga yang sudah layak huni. Berwarna-warni dan serupa bentuknya. Ya, itu adalah desa kami. Desa yang akan memberikan banyak pembelajaran kepada kami. Kedatangan kami disambut oleh para warga.
“Kakak-kakak, ayo kita ke kali, ada buaya disana. Kecil saja”. Terbelalak mata kami. Apa? ‘kecil saja’ katanya? Sekecil-kecilnya buaya tetap menggigit, dan pastinya ada induknya disana. Rasa penasaran mulai muncul, lalu mulailah ku tanyakan kepada mereka, “kamu tidak takut buaya?”
“Takut kak, tapi tidak apa-apa. Kami tiap pagi mandi disana”. Wah, mandi saja berbarengan dengan buaya. Sungguh berbeda dengan kondisi kami di Jawa yang memiliki kamar mandi yang nyaman.
Malam hari pertama tiba. Kami menikmati kegelapan malam diantara hutan-hutan Papua. Syahdu dan mengukir rindu. Gelap, tanpa listrik dan sinyal? Ya, itu benar-benar ku rasakan. Di malam itu, kegiatan penyambutan berlangsung. Bertemu dengan semua warga di sebuah balai desa. Kami menyampaikan berbagai kegiatan yang akan kami laksanakan disana dibantu penerangan dari genset mushola. Selama kegiatan penyambutan berlangsung, ku pandangi satu-satu wajah mereka, guna memendam kenangan di lelap tidurku nanti.
Tibalah hari esok, dan inilah saatnya divisi pendidikan beraksi. Pukul 07.45 WIT kami mulai beranjak ke sekolah. Jam masuk sekolah disana dimulai pukul 08.00 WIT, dengan total murid 50 orang saja. Setibanya disana, kami memulai perkenalan dan memberi permainan untuk mencairkan suasana. Kami ajarkan mereka berhitung, belajar angka dan belajar bahasa inggris. Anak-anak yang bersekolah di SD Warengkris kebanyakan belum menggunakan seragam lengkap, terlebih bersepatu. Tas yang mereka kenakan pun tas yang mereka buat sendiri dari bekas kemasan yang dianyam menjadi sebuah tas. Rasanya menyayat hati, ketika mengingat Indonesia sudah merdeka lebih dari 70 tahun namun pendidikan dan kesejahteraan masyarakat belum merata. Bahkan sekolah dasar Warengkris ini merupakan sekolah dasar yang baru ada sekitar 2 tahun ini.
Sebagian ruang kelasnya belum sempurna dibangun.
Hari kedua, selepas pulang sekolah, kami membantu warga untuk membersihkan tempat wisata Desa Warengkris. Desa Warengkris memiliki sebuah air terjun yang terdapat ditengah hujan. Sebenarnya, pemerintah setempat sudah menyediakan fasilitas tempat wisata. Namun, kurangnya edukasi kepada masyarakat tentang pengelolaan tempat wisata, membuat tempat tersebut terbengkalai dan tidak terawat. Banyak sekali rumputrumput liar yang tumbuh menghalangi. Tempat loket masuk sudah tertutup oleh semak belukar dan bangunannya sudah tak utuh lagi. Jalanan setapak dari kayu berwarna coklat tua sudah menjadi licin dan rapuh tertutup lumut. Bahkan, daun-daun kering yang berjatuhan sudah sangat melekat dengan papan kayu di jalan setapak itu. Papan kayu yang rapuh, berlumut, pakupaku yang sudah lepas membuat saya berpikir berulang kali untuk berani melewatinya.
Air sungai yang mengalir di dekat air terjun tidak jernih, berwarna coklat kemerahan. Terdengar suara anak-anak bermain di air. Sesampainya di air terjun, ku lihat mereka mandi bersama dan tertawa bersama. Tanpa ada beban, tanpa ada keluh kesah. Ketika anak-anak melihat kedatangan kami, mereka langsung mengajak kami untuk mandi bersama. Mereka pun ada yang sangat antusias mengambilkan kami buah matoa. Mereka tidak keberatan ketika harus mengambil matoa dengan memanjat tebing yang curam dan jatuh berkali-kali. Bagi mereka, itu sebuah kebahagiaan bisa berbagi dengan apa yang mereka punya.
Pemandangannya asri sekali dan sangat kental dengan figur hutan Papua selama ini.
Hari ketiga, giliran saya yang beraksi. Hari ini saya bertugas untuk mendongeng namun tetap berdakwah. Saya mengangkat cerita tentang adab makan dan tentang akhlak. Saya beri nama cerita itu dodo, pohon yang sombong, dan si penggembala kambing yang suka berbohong. Tak lupa saya membawa sebuah boneka tangan saya untuk berdongeng. Bahagia melihat mereka tersenyum senang mendengarkan cerita-cerita saya. Senyum itu pula yang memberikan semangat padaku, bahwa hal kecil yang kita berikan, bisa menjadi momen yang berkesan.
Pada hari terakhir ini, kami putuskan untuk lebih leluasa bermain dengan anak-anak. Kami isi kegiatan dengan bercerita, sikat gigi bersama, dan berfoto, mencoba mengabadikan kenangan bahwa kami pernah disana. Kami tutup hari itu dengan makan papeda bersama. Sebuah hidangan baru nan asing bagiku. Kepala sekolah dan para guru SD Warengkrislah yang menyiapkannya. Para guru dengan senang hati menghidangkan berbagai makanan khas Tanah Papua. Papeda, cakalang kuah kuning, tumis kangkung dan sambal merah, merupakan perpaduan yang mantap. Aneh awalnya saat hendak menikmati hidangan tersebut, karena dari bentuknya papeda itu seperti kenyal dan menjulur bagaikan lem. Tekstur yang dihasilkan papeda pun sangat berbeda dengan nasi atau bubur yang selama ini kami konsumsi. Sungguh benar-benar hal baru bagi saya. Kenyal, manis, asam, gurih, pedas, berpadu menjadi rasa yang nikmat. Ah, nikmat dunia yang tersembunyi di intan permata Indonesia.
Makanan nan sederhana namun mencerminkan jati diri Indonesia, mencerminkan nilai kekayaan Indonesia. Tetap sederhana namun tak mudah dilupa dan selalu membuat terkesima. Sederhana dan bersahaja. Rasa bangga menyelimutiku, bangga dengan beragamnya dan luasnya Indonesia. Bangga menjadi orang Indonesia dengan segala kekayaan alam, budaya dan bahasanya. Rasa bangga ini akan selalu kubawa hingga ku kembali ke tanah Jawa. Inilah Indonesiaku, yang tak akan lekang oleh waktu
Oleh Yasikha Ayu Fahrida, juara III Lomba Menulis Cerita Perjalananan Gitapala 2020