Motor kami membelah jalan Godean yang masih dipadati monoksida. Carrier besar yang dijejal di depan pengemudi membedakan tim Gitapala dengan pengendara lain. Hari itu hari Jumat tanggal 6 Maret 2020 dan jam menunjukkan pukul 20.30. Kami baru saja bertolak dari kantor Gitapala menuju basecamp Mbah Cokro, Purworejo, Jawa Tengah.
Kami hendak melaksanakan proker dari Divisi Penelusuran Gua, yaitu pemetaan Gua Nguwik. Sebanyak 12 orang ikut serta dalam proker tersebut, yakni Gina, Abdul, Bagas, Lilik, dan Bibi dari Rajawali, Jayu, Dysek, Nisa, Nana, Farhan, dan Daffa dari Rusa Bawean, serta Shafa dari Gaharu. Kegiatan dilaksanakan mulai tanggal 6 Maret 2020 sampai 8 Maret 2020 dengan target melakukan pemetaan Gua Nguwik, Purworejo, Jawa Tengah. Gua Nguwik sendiri adalah gua horizontal yang cukup dikenal di kalangan mapala. Selain memperoleh ilmu mengenai pemetaan gua, kami tentu saja berharap pulang dengan selamat dan membawa hati yang gembira.
Hujan dan kabut menyambut kedatangan kami di Basecamp Mbah Cokro. Udara dingin dan baju yang basah membuat kami ingin cepat-cepat berteduh dan bersih diri. Jam menunjukkan pukul 22.30 ketika kami mengangkut carrier dan perlengkapan ke dalam basecamp. Di dalam basecamp, kelompok mapala dari Semarang sedang melakukan pematerian. Tak lupa kami saling melempar senyum dan berjabat tangan. Sebelum tidur, pada pukul 11.00 dilakukan briefing mengenai jobdesk, waktu, dan rincian kegiatan kami esok hari di Gua Nguwik yang dipimpin oleh Jayu. Pukul 01.00, sleeping bag dibuka dan kami semua terlelap.
Kebanyakan dari kami bangun ketika hari sudah terang. Langsung duduk berjejer rapi dan menyantap makanan yang kami pesan dari Mbah Cokro. Sesudah itu, tim bersiap untuk berangkat. Adapun anggota Gitapala yang masuk adalah Jayu, Gina, Bagas, Farhan, Nana, Nisa, Shafa, dan Dysek. Tim telusur langsung memakai coverall, webbing dan CDNS, helm, serta senter/headlamp masing-masing. Abdul, Daffa, Bibi, dan juga Farrel yang menyusul diposisikan sebagai tim siaga. Sekitar pukul 09.00, kami meluncur ke Gua Nguwik dengan sepeda motor.
Dari tempat parkir motor, kami harus turun melewati jalan yang cukup curam dan licin sisa hujan kemarin. Dalam waktu singkat, kami bertatap muka dengan mulut Gua Nguwik. Mulut gua itu cukup besar, sinar matahari menunjukkan jalan yang sedikit menurun dan lorong sempit. Tim telusur masuk gua pukul 09.32 dan dipimpin oleh Jayu.
Kegelapan diterkam oleh cahaya senter kami. Baru awal saja, kami diharuskan untuk membungkuk bahkan menyeret lutut karena lorong yang sempit dan langit-langit rendah. Dapat dilihat pipa-pipa paralon tipis berjejer di dinding lorong. Hal itu membuat kami mengerti bahwa Gua Nguwik digunakan warga sebagai sumber air. Seusai kami melewati lorong yang sempit, kami disambut oleh air terjun yang suaranya meronta di telinga. Air terjun itu begitu dekat dengan kami, bahkan membasahi jalan menurun yang seharusnya kami lewati. Dengan berhati-hati, tim telusur menapakkan kaki ke tanah basah.Setelah melewati air terjun, kami disambut oleh kegelapan, dinding gua yang meluas, dan speleogen raksasa yang bisa kami injak. Selanjutnya kami dihadapkan dengan dua pilihan, yakni memanjat naik ke bebatuan menuju lorong yang sempit atau bertolak ke kanan melewati lorong dengan langit-langit tinggi dan di akhirnya terdapat air. Kami memutuskan untuk belok kanan.
Kami melewati lorong yang hanya bisa dilewati satu orang sehingga kami membentuk barisan. Setelah lorong tersebut, kami bertemu dengan daratan dengan langit-langit rendah dan sedikit terdapat stalaktit. Selanjutnya adalah jalur berair. Farhan dan Jayu lebih dulu menjelajahi lorong berair tersebut, untuk mengecek apakah aman untuk kami lewati. Mereka kembali dengan mengacungkan jempol, namun coverall mereka terlihat basah. Sontak kami langsung packing ulang drybag untuk menjaga alat-alat elektronik yang kami bawa.
Aliran air yang cukup deras itu memukul-mukul sepatu boots. Kami berjalan dengan berhati-hati. Suara deru air bergema di gendang telinga. Dari awalnya air hanya membasahi boots kami, sampai akhirnya menyentuh dada karena kami harus berlutut dan tengkurap saat melewati lorong yang sempit. Akhirnya, kami sampai di ujung penelusuran. Sebuah lorong tanpa aliran air dengan langit-langit yang tinggi. Terdapat patok besi yang harus menghentikan perjalanan kami. Patok tersebut memisahkan lorong dengan sebuah badan air yang meluas dan langit-langit rendah. Kami sudah mendengar cerita bahwa di dalam Gua Nguwik terdapat danau sedalam 17 meter yang digunakan warga sebagai sumber air. Kami berhipotesis bahwa badan air di depan kami merupakan danau tersebut sehingga perjalanan dihentikan.
Selanjutnya kami mulai melakukan pemetaan. Jayu bertugas menentukan stasiun, Nana sebagai shooter, Bagas dan Farhan sebagai sketcher untuk menggambar gua tampak depan maupun tampak samping, Shafa sebagai pengambil data, Nisa memegang kamera, serta Dysek dan Gina sebagai pengambil data speleogenesis. Kami melakukan pengambilan data dari pukul 10:22 – 12:59. Kami telah mendapat 12 stasiun.
Tim telusur keluar dari gua dengan selamat dan gembira. Kami langsung naik, beristirahat, dan mengudap sedikit camilan. Selanjutnya kami bergegas kembali ke basecamp untuk beristirahat dan makan siang. Penelusuran dilanjutkan pada sore hari, bila cuaca dan Semesta mengizinkan.
Pemetaan dilanjutkan keesokan harinya pada pukul 08.10. Kemarin sore hujan turun dengan deras sehingga tim mengurungkan niat untuk kembali masuk Gua Nguwik. Terdapat pergantian personil juga. Nisa digantikan Daffa, sementara Bagas digantikan Ilham Oren yang baru saja menyusul. Kami langsung bergegas ke stasiun 12 dan melakukan pengambilan data kembali. Selain mengambil data, mencatat jenis ornament, dan mengukur panjang stasiun, kami juga berfoto bersama.
Kami mendapat kabar bahwa Gua Sikantong sama sekali tak boleh dilewatkan. Jam masih menunjukkan pukul 13.00. Akhirnya, kami pun bertolak ke Gua Sikantong yang berjarak sekitar 2km dari Gua Nguwik. Pemandangan hutan dengan pohon-pohon kurus dan kabut menyegarkan mata kami. Motor kami berhenti di depan sebuah rumah dengan tanah lapang. Sebuah ‘gapura’ dari kayu mengantarkan jalan kami menuju Gua Sikantong.
Tim telusur Gua Sikantong kali ini adalah Bagas sebagai leader, Jayu, Nana, Dysek, Farrel, Farhan, Daffa, dan Shafa. Dari mulut Gua Sikantong, terdapat sungai yang mengalir. Kami harus mengenakan pelampung untuk masuk ke gua tersebut. Perlahan kami meniti sebuah papan kayu yang menyambungkan daratan dengan bebatuan mulut gua. Begitu memasuki gua, kami langsung terkagum-kagum dengan apa yang kami lihat.
Menjelajah Gua Sikantong rasanya seperti bermain di waterpark. Setengah tubuhmu berendam dan kau bergerak di antara ornamen-ornamen gua yang sangat beragam. Setelah berjalan biasa, kami menemukan banyak kejutan. Mulai dari lorong sempit yang mengharuskan kami untuk melepas pelampung dan lewat satu per satu, memanjat, mengangkat tubuh, merayap. Menyenangkan sekali! Bahkan tercipta gurauan bahwa masuk ke Gua Sikantong mengharuskan kita untuk menjadi ikan, kelelawar, cicak, laba-laba, dan berbagai macam hewan lain.
Setelah jalan berair dan lorong yang sangat sempit, kami menemukan chamber yang sangat apik bila dijepret dalam foto. Stalaktit dan berbagai ornament lain menghiasinya. Terdapat gundukan tanah yang tinggi sehingga menciptakan estetika tersendiri. Seusai melewati chamber, kami kembali memanjat bebatuan untuk meraih sebuah lorong kecil yang letaknya cukup jauh di atas kami. Kami memasuki lorong tersebut dan di ujungnya menemukan sungai yang konon kedalamannya sampai 1,5 meter. Karena penelusuran kami dibatasi waktu satu jam, kami menghentikan perjalanan disitu.
Tim telusur Gua Sikantong keluar dengan senyum merekah sambil mengucap bahwa kami tidak menyesal telah masuk Gua Sikantong. Hanya saja tidak banyak foto dapat kami ambil karena sulit bagi kami untuk mengeluarkan kamera. Kami akhirnya naik, beristirahat, melepaskan coverall, dan mengudap makanan hangat. Beberapa juga mencuci coverall di sungai sekaligus bermain dan berenang. Tawa riang melayang di udara.
Sekitar pukul 17.45, barang selesai di-packing dan kami siap pulang. Tak lupa berpamitan kepada Mbah Cokro dan berterimakasih atas keramahan beliau untuk menampung kami. Kami pulang dengan gembira dan lega karena satu proker sudah selesai.
Setelah ini, jelajah gua mana lagi ya?