(Pemenang LCP GP – Juara 1) Mengendap Dibawah Hening Rimba Kalimantan – Hamzah Ramdhani

Cerita perjalanan dalam ekspedisi kami (Mapala Silvagama) meneliti, memperhati, menyesapi,

sekaligus merasakan kehidupan rimba di pelosok Taman Nasional Gunung Palung

 

Gelap sudah menyergap saat kami sedang menyelesaikan perjalanan panjang menyusuri hutan. Satu per satu dari kami mulai mengeluarkan senter untuk membantu penerangan. Sejak berangkat pagi tadi hingga menjelang malam, kami tak kunjung sampai ke Stasiun Riset Cabang Panti, lokasi dimana selama 2 minggu kedepan, kami akan menggantungkan hidup disana. Rasa lelah terus menerkam, fisik kami benar-benar diadu. Jarak tempuh yang panjang dan beban bawaan yang berat menjadi tantangan yang harus kami lawan. Dari Dusun Tanjung Gunung (dusun terakhir) kami harus berjalan sejauh 16 km untuk sampai ke Stasiun Riset Cabang Panti (SRCP). Selain jarak yang jauh, setiap dari kami juga harus membawa satu tas carrier dan satu daypack yang digendong di depan untuk membawa segala perlengkapan yang akan kami gunakan selama ekspedisi di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat.

Perjalanan menyusuri rimba Kalimantan

Langit Agustus begitu cerah. Cemberut mendung tak sekalipun nampak menutupi keriangan surya menyinari seisi semesta. Meski kami terus mengendap dibawah rerimbunan pohon, kami merasakan bagaimana hari itu langit begitu bersahabat. Jeda menjadi penenang di tengah perjalanan kami yang panjang. Setelah menyandarkan tas carrier dan duduk sejenak, perlahan kami mulai merasakan kedamaian alam yang dibalut suara satwa dan hembusan angin yang bersenandung menari bersama dedaunan. “Nikmatilah jeda, terlalu banyak keindahan yang terlewatkan karena ketergesa-gesaan”, begitu secuit tulisan dari buku karya Jazuli Imam.

Sungai Bayas telah kami lewati, pertanda perjalanan sudah mendekati akhir. Sejenak semangat mulai berkobar sebelum akhirnya kandas kembali oleh jarak. Sungai Bayas –selain Sungai Air Putih yang letaknya di depan camp- merupakan sungai terakhir yang harus diseberangi sebelum sampai di camp SRCP. Satu prinsip yang terus kami pegang, tidak apa-apa pelan, yang penting terus kedepan. Hingga fisik hanya menyisakan satu serpihan kecil semangat, tiba-tiba cahaya menusuk pandangan dari depan, diantara sela-sela pohon dan kegelapan. Semakin mendekat, cahaya itu semakin bersinar lebih terang. Seperti adanya peradaban di tengah rerimbaan hutan.

Gemuruh air mengalir juga mulai terdengar. Setelah Sungai Bayas, kami dapat menyimpulkan bahwa gemuruh air tersebut adalah aliran Sungai Air Putih. Bak oase di gurun pasir, camp itu menjadi tempat yang kami nantikan selama perjalanan.

kami menyeberangi Sungai Air Putih untuk berangkat melakukan penelitian

Stasiun Riset Cabang Panti merupakan stasiun riset yang berada di Taman Nasional Gunung Palung. Pemanfaatan kawasan Gunung Palung untuk tujuan penelitian telah dimulai sejak tahun 1985 yang pada saat itu masih berstatus sebagai Cagar Alam. Kegiatan penelitian difokuskan di Cabang Panti dengan luas kurang dari 1500 hektar. Sejak ditetapkannya institusi pengelolaan Taman Nasional Gunung Palung pada tahun 1998, seluruh kegiatan penelitian di Cabang Panti merupakan bagian dari pengelolaan taman nasional secara terintegrasi. SRCP kemudian diperbaiki pada tahun 2007 oleh Dr. Andrew J. Marshall dan Dr. Cheryl Knott, sebagai bagian dari rangkaian penelitian jangka panjang yang dilakukannya. Pada tahun tersebut, luas stasiun riset bertambah dari 1500 hektar menjadi 2100 hektar dengan dibuatnya jalur pengamatan di puncak Gunung Palung. Luasan tersebut sudah mencakup keterwakilan 8 ekosistem yang ada di Taman Nasional Gunung Palung dengan 80 jalur pengamatan yang melewati setiap ekosistem.

Jika dibuat garis lurus, 80 jalur pengamatan tersebut akan membentuk jalur sepanjang 96,727 km. dengan kondisi yang sedemikian rupa, wilayah SRCP menjadi sangat ideal sebagai lokasi penelitian untuk berbagai aspek, termasuk penelitian yang akan kami lakukan terkait persebaran Nepenthes spp. dan karaktersitik tapak tumbuhnya di berbagai ekosistem.

Matahari belum menampakan sinarnya, saat Mbok Ju , seorang juru masak stasiunriset sedang berkutat dengan beberapa perabotan dapur dan bumbu masakan. Sepagi itu, Mbok Ju mempersiapkan sarapan untuk para peneliti dan asistennya sebelum berangkat mengambil data lapangan. Dalam sehari Mbok Ju hanya memasak di pagi hari dan sore hari, sebab siang harinya para peneliti masih berada di dalam hutan sehingga porsi di pagi hari biasanya dilebihkan agar para peneliti dapat membawa bekal untuk makan siang. Saat sinar matahari mulai tampak, para asisten peneliti pun mulai keluar menuju camp induk, tempat dapur dan segala masakan telah disiapkan.

Camp Induk merupakan salah satu camp yang berada di Stasiun Riset Cabang Panti. Saat ini 6 camp telah dibangun untuk menunjang aktivitas penelitian. Semua camp tersebut dibangun dengan bahan dasar kayu yang disusun menyerupai rumah panggung. Di komplek utama, terdapat 3 camp yang letaknya saling berdekatan, yaitu Camp Induk, Camp Litho, dan Camp Nyamuk. Camp Induk merupakan camp yang paling besar diantara camp yang lainnya, memiliki 2 lantai dimana lantai atas digunakan untuk Laboratorium dan kamar sedangkan lantai bawah terdapat kamar dan ruangan yang digunakan untuk tempat berkumpul, termasuk dapur dan gudang penyimpanan logistik makanan. Di sebelah utaranya, terdapat Camp Nyamuk yang digunakan untuk tempat tinggal para asisten peneliti, termasuk dalam camp tersebut juga digunakan sebagai mushola untuk sholat berjamaah. Di utara Camp Nyamuk, berhadapan dengan Camp Induk terdapat Camp Litho yang digunakan sebagai tempat tinggal pengelola Taman Nasional Gunung Palung. Di tengah-tengah ketiga camp tersebut, terdapat pohon Kanarium (Kedondong hutan) yang dibawahnya dibuat tempat duduk untuk berkumpul dan menikmati waktu-waktu istirahat. Selain itu, juga terdapat meja yang digunakan untuk olahraga tenis meja, sebagai aktivitas penunjang untuk menghilangkan kejenuhan di tengah hutan belantara. Sementara 3 camp sisanya ; Camp Senang, Camp Pantai, dan

Camp AP 15 letaknya tersebar menjauh dari komplek utama. Ketiga camp tersebut sama-sama digunakan untuk kamar bagi peneliti jika di komplek utama sudah tidak dapat

 

Selepas bangun pagi, aku beranjak menuju ke tepian sungai untuk mengusap muka, berkumur, dan menjalankan ibadah diatas endapan pasir yang serupa pantai. Setelah itu, banyak waktu untukku mengamati, meresapi, dan merasakan kesenduan rimba yang masih terjaga. Owa Kalimantan yang saling bersaut dan memanggil, burung-burung yang kian riang menyambut pagi, ikan-ikan yang berenang berdampingan di beningnya sungai, atau sesekali dibawah aliran air sejenis kura-kura menampakan dirinya yang sedang mengarungi kehidupan yang riang, tanpa gangguan, tanpa ancaman. Bila pun ada ancaman, itu datangnya dari biawak yang kadang kala muncul, menunggunya di sela-sela akar riparian untuk disantapnya menjadi sarapan. Tapi bagiku itu bukan ancaman, sebab itu sudah bagian alur takdir ekologis yang berjalan. Sebesar-sebesarnya ancaman adalah aku yang duduk termengu disitu.Pagi itu, aku teringat sebait lagu yang dinyanyikan Navicula. Saat mereka menerjang rimba Kalimantan, tidur, dan merasakan bagaimana simponi suara rimba beradu dalam rasa kedamaian yang begitu sempurna. Jauh dari hiruk pikuk keramaian, aku juga merasakan demikian. Saat rimba menjadi tumpuanku untuk hidup, beristirahat dan bersenandung bahagia bersama satwa.

“Aku bermalam di rimba

Di tepi sungai suara

Di buai kedamaian sempurna

Di kaki kayu raksasa

Di pudak batu perkasa

Ku rangkai puji bagi pencipta”

Sehari sebelumnya hujan terus menutupi langit Gunung Palung sehingga guyuran air dari atas membawa limpasan yang mengalir bersama seresah tanah dan batang yang hanyut terbawa arus. Dari depan teras camp, Kini wajah Sungai Air Putih terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Muka air mulai naik, menutupi bebatuan yang tertimbun membentuk jembatan. Di sungai itulah para penghuni camp melabuhkan kelelahannya dengan mandi atau berelaksasi. Setelah beraktivitas sepanjang siang, sore harinya kami menenggelamkan diri pada kesegaran air sungai bersama ikan-ikan yang berenang menikmati ekosistemnya yang masih perawan. Ikan-ikan itu terlihat berenang dan menari mengikuti kami. Mereka tak lari, tetap asyik menikmati kejernihan air bersama kami. Riang ikan yang berenang juga diikuti oleh ocehan burung dan primata yang silih berganti mengisi keheningan rimba. Di stasiun riset inilah kami merasakan, harmoni alam dengan manusia yang hidup beriringan dan saling menjaga.

Oleh Hamzah Ramdhani, juara 1 Lomba Menulis Cerita Perjalanan GITAPALA 2020

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.