(Pemenang LCP GP – Juara 2) Bandung Punya Cerita – George Muhammad Isromi

Malam itu seharusnya kami sudah bisa berleha-leha sambil melepas penat di atas kursi kereta, tetapi takdir berkata lain. Terdengar suara ricuh lewat telepon smartphone di depan petugas tiket Stasiun Kiaracondong.

“TIKETNYA DISEBELAH MANA BRAM? Di kantong depan tas tidak ada!”

“POSISIMU DIMANA? Tiketnya di saku depan tas Ali. Kenapa kamu salah turun tadi, seharusnya ke sebelah utara stasiun.”

Ingin rasanya membanting hp, mana bisa tau posisi utara selatan, yang kulakukan hanya mondar-mandir sambil membawa gawai di pergelangan tangan, memastikan posisi Ali dan Bram yang tidak jelas dimana.

Meskipun akhirnya kami bisa bertemu setelah pemastian yang lama dan tiket sudah berhasil terjumpa, yang namanya ‘ngaret’ tidak berlaku di stasiun ini, tepat pukul 23.00 WIB kereta sudah melaju ke Yogyakarta. Yang bisa kulakukan hanya tertawa dalam diam, Bandung belum rela kami pergi.

***

Apakah kalian tahu, apa impian terbesarku dalam waktu dekat ini? Mungkin memang bukan hal besar bagi sebagian besar orang, tapi juga bukan berarti hal remeh bagi mereka yang sebenarnya kurang jiwa petualang dan bukan anak dalam perantauan. Yup, impianku adalah naik kereta api, entah kemana itu tujuannya.

Berawal dari curi dengar pembicaraan antara Ali, Bram, dan Wahju tentang wacana mereka ke Bandung, untuk tujuan berwisata, saat kami sedang makan bersama di sebuah warung pinggiran kota Yogyakarta tempo lalu. Bandung? Jelas kalau daerah itu cukup jauh dan kalau mengunakan motor atau bus akan memakan waktu lama, ‘Kereta’ itulah jawaban transportasi paling efektif dari segala opsi yang ada. Mendengar hal itu, aku berucap, “Aku ikut dung.” Niatku selain bisa traveling juga berharap bisa bertemu teman yang telah pindah kampus tahun lalu.

Menuju kota Bandung kami menggunakan jasa kereta api indonesia (KAI) dari Lempuyangan, kami sudah stay di stasiun sejak pukul 21.00 WIB agar tidak ada yang ketinggalan. Jujur, banyak hal baru yang kujumpai, diantaranya mulai dari check-in tiket via daring padahal sudah di stasiun. Agar tidak hanya lelah menunggu, kami menyempatkan diri berkeliling di antara rel kereta, cukup banyak spot foto yang bisa digunakan meskipun waktu malam. Waktu berselang, Ali mengabarkan bahwa kereta sudah sampai, kami pun bergegas takut kalau tidak dapat jatah kursi, pikirku.

Keadaan sedikit ricuh oleh masuknya para penumpang secara bersamaan, ada yang sibuk mencari kursi, memposisikan tas di rak, dan bahkan ada yang berebutan posisi duduk antar teman sendiri. Kursi sofa berbahan spons keras dan sempit, itulah kesan pertamaku melihat keadaan dan tata letak  kursi-kursi kereta kelas ekonomi. Sudah berbentuk tegak dan berhadap-hadapan antar penumpang, panjangnya juga cuma satu meter untuk tiga orang, “kuyakin tidak bisa tidur..” 295, 296, 297, ternyata setiap tiket sudah ada jatah kursinya sendiri-sendiri, setidaknya kegusaran bila tidak mendapat kursi sudah hilang.

Selang 8 jam kami berada di kereta, tibalah kami di Kota Kembang. Sambil peregangan akibat pegal selama di kereta, kami keluar gerbong. Sebenarnya selama di kursi-kursi keras itu, rasanya tidak terlalu buruk, memang agak kesulitan tidur dan hampir saja jatuh ke kolong karena posisinya paling pinggir dekat lorong, tapi berkat Ali yang sering menarikku, kejadian itu tidak terjadi. Paginya setelah shalat subuh sambil duduk, kami bercanda ria sambil mengkomentari setiap gedung yang dilewati atau membahas apapun yang bisa dibahas, bahkan membuat para gadis tidak dikenal dihadapan kami senyum-senyum sendiri, senyum mereka masih hangat kuingat.

Setibanya di stasiun, kami menyempatkan diri keluar dari stasiun untuk memesan GrabCar, agar tidak terjadi bentrok antar taksi konvesional bila memesan yang daring di dalam wilayah mereka, yang daring menurut kami lebih murah dan ada kejelasan harga.

Destinasi pertama setiba di Bandung adalam markasnya pemuda hijrah, Masjid Al Lathif, tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai, kurang lebih setengah jam dari stasiun. Setelah tiba di lokasi, hal pertama yang dicari adalah warung, tapi hanya menemui mang gorengan, akhirnya sarapan dengan gorengan. Alhamdulillah. Setelah makan paling enak rebahan, di lantai dua tersedia alas yang diperbolehkan sebagai tempat istirahat.

Sebagai sie acara, Hilbram telah mengatur jadwal kita semua dan destinasi mana saja kita akan pergi, bagus si tapi terkadang ketika tiba di suatu lokasi, yang kuharap adalah bisa menetap lebih lama sambil rebahan, maklum bukan anak petualang. Selama di Bandung transportasi yang kami gunakan adalah angkutan kota dan via jalan kaki, tidak memesan ojek karena faktor biaya, toh banyak angkutan kota. Ada suatu hal yang bisa disebut kesalahan asumsi yaitu ketika kami hendak pergi ke Masjid Raya Bandung dari Masjid Salman ITB, kami kira dengan menelusuri jalanan akan mempercepat kami menemukan angkot yang bisa langsung sampai ke sana, ternyata kami malah terlalu lama berjalan sampai ketika menemukan trans Bandung kami hanya menumpang selama 5 menit karena jarak antara kami jalan kaki dan jarak menggunakan bus lebih lama berjalan kaki, melelahkan memang.

Malam pertama di Bandung kami menginap di rumah Aa Fadit, TPB 18, temannya Bram dan Ali, dan boleh dikata berarti juga temanku. Selayaknya tamu raja, kami diantar via mobil beratap kaca, dijamu dengan makanan khas dan makanan nikmat, digelarkan kasur untuk berbaring nyaman, pokoknya suatu kenikmatan. Paginya pun Aa mengantarkan kami ke tempat pariwisata terdekat, Stone Garden, disana serasa berada di puncak bebatuan karang.

Setelah dari Garden Stone kami menuju ke tempat yang kuharapkan, rumah seorang sahabat di Bandung, Hilmi Lisan. Namun, kali ini ada kesalahan, kami belum memikirkan bagaimana transportasi dari stasiun sampai ke rumahnya, karena aku belum menghubungi dia sebelumnya meminta untuk diantar. Akhirnya, setiba di stasiun terdekat dengan rumahnya, Stasiun Cimekar, daripada menunggu ketidakpastian trasnportasi, kami mencoba berkeliling barangkali ada tempat bagus untuk dikunjungi. Stasiun Gelora Bandung Lautan Api, itulah gedung raksasa yang bisa kulihat dari kejauhan, dengan berjalan kaki, kami menuju tempat itu, ternyata bukan main jauhnya, setiba disana pun malah tidak diperbolehkan satpam untuk masuk ke dalam, berasa sia-sia merelakan diri berjalan jauh-jauh, mau mencoba memesan GrabCar pun juga kemahalan karena darisana bahkan mobilpun akan jalan memutar. Akhirnya kami menuju ke stasiun Cimekar dengan jalan kaki dan berharap ada yang mau memberi tumpangan.

Tepat di setengah jalan, ada mobil bak terbuka yang menuju ke daerah Hilmi berasal dan paling penting mereka mau mengantar kami, tanpa pikir panjang tentu kami naik, mereka ramah, bukan sekedar ramah karena memberi tumpangan tapi juga mereka bahkan mengucapkan mohon maaf karena tidak bisa mengantar tepat sampai ke tujuan. Kami pun meneruskan sisa perjalanan dengan memesan Grab.

 

20.30 WIB

Kembali lagi ke Stasiun Cimekar untuk menunggu kedatangan kereta ke Kiaracondong, stasiun keberangkatan ke Yogyakara. Jam 23.00 WIB, itulah jam keberangkatan dari KiaraCondong ke Yogyakarata, masih lama sebenarnya. Sekitar 4 jam kami habiskan di rumah Hilmi, tanpa terasa, mungkin dia memanglah teman kami tapi sejatinya dia adik kelas kami, masih ada benak kecanggungan hubungan kakak-adik tingkat walaupun yang kuharapkan dia bisa lebih santai. Namun, semua waktu yang dihabiskan serasa berharga, seberharga ketika hendak melepaskan anak ke perantauan, serasa pertemuan ini adalah pertemuan terakhir kami, alasan Hilmu pindah pun bukan semena-mena karena dia merasa salah jurusan atau dia tidak merasa enak di jurusan kami, serius dia anaknya sangat rajin dan visioner, melainkan ada sebuah kejadian pilu bila diceritakan yang membuatku seringkali berkata kepada semesta bila aku mengingat dirinya, “Kenapa orang baik sering ditimpa cobaan yang berat?”

Setidaknya masih ada 2 jam tersisa bagi kami berada di Bandung, kami menyempatkan melakukan hal yang membuat penyesalan, kami memberli oleh-oleh via daring.

22.40 WIB

Bila tidak segera naik kereta terakhir ini ke Kiaracondang kami akan ketinggalan kereta, akhirnya kami pun masuk beserta bawaan, ya udah oleh-olehnya kapankapan aja, pikirku. Seketika Ali dan Hilbram turun kembali, menunggu pesanan, sontak aku kaget meminta mereka kembali tapi apadaya kereta sudah berjalan, kuminta kondektur menghentikan kereta tapi tidak bisa, harus tepat pada waktunya.

Dan tas-tas mereka masih tertinggal di dalam gerbong kereta.

***

Drama itu pun dimulai dan kamipun alhasil ketinggalan kereta, Bram dan aku sempat saling menyalahkan satu sama lain, tapi yang paling merasa bersalah adalah Ali, dia merasa bertanggung jawab sebagai sang pemegang tiket kereta.

“Tidak apa-apa, toh malah ini bisa menjadi petualangan sebenarnya,” ujarku dan Bram menenangkan.

Untuk naik ke kereta berikutnya ke Yogyakarta perlu menunggu besok malam di jam yang sama, 23.00 WIB, satu hal yang perlu kami pikirkan saat itu, “Kita mau tidur dimana?”

Masjid Raya Bandung hanya berkisar 6 KM dari Kiaracondong, dan bila naik kereta sampai ke stasiun terdekat kemungkinan hanya 2 KM, sisanya kami berjalan kaki. Selama berjalan kaki bukan kenikmatan malam yang kami rasakan melainkan hawa mencekam dari sisi gelap Bandung, banyak sekali preman jalan dan cabecabean. Hanya dengan guyuran doa hati bisa lebih tenang.

Setiba di Masjid Raya kami langsung membaringkan badan di rumput sintetis di lapanganya, karena masjidnya dikunci. Alhamdulillah cukup nyaman dan tidak dingin.

Paginya, tentunya kami sholat Subuh terlebih dahulu, berada di posisi alun-alun menjadi sebuah keuntungan tersendiri, kami cukup mudah menemui warteg yang menjual makanan menyengangkan nan murah, mengakses berbagai fasilitas wisata seperti Bandros, menara masjid, taman bunga, pasar kuliner, dan ruang baca. Karena tidak terjadwal kami bisa kemanapun sesuka hati, hanya terbatas oleh masalah ekonomi dan malamnya harus sudah di stasiun Kiaracondong kembali.

 

Petualangan kami pun berakhir dengan perasaan lega, lega karena bisa mengena Bandung lebih lama dan lega karena bisa mengambil hikmah dari semua peristiwa yang ada.

Halo-halo Bandung

Ibu Kota Periangan 

Halo-halo Bandung 

Kota kenang-kenangan… 

Oleh George Muhammad Isromi, juara II Lomba Menulis Cerita Perjalanan Gitapala 2020

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.